SANG DEWA GOOGLE (SDG) adalah salah satu lagu yang terdapat dalam album kedua EYB “ANTOLOGI JIWA-JIWA” selain dari : Revolusi Para Kere, Kelakar Api, Salve Regina, dll.
Lagu SDG tercipta berangkat dari permenungan panjang dan reflektif tentang gelagat social spiritual yang menggemaskan setelah kira-kira 2000 tahun Anaximadros menggelindingkan filsafat “to aperion” (yang tak terbatas) .
Konsep per-tema-an EYB dalam menggagas karya, selama ini “selalu tidak instant.” Tinggal mencret lantas jadi. Harus ada galian-galian yang mendalam agar karya yang dilahirkan tersebut bisa berada dalam ranah wacana (dan bukan hiburan semata). Karena itu lagu SDG tidak sekedar mengambil “tema kulit” dari trend saat ini seperti : doyan facebook, kerajingan online, dsb.
Dari sejumlah diskusi internal yang dilakukan EYB menjelang masuk studio, kedangkalan tema dalam kebanyakan lagu Indonesia selama ini adalah karena : ( “selalu” dan “selalu”) bersandar pada “trend”. Mungkin benar bahwa sebuah karya hendaknya berangkat dari apa yang terjadi pada eranya, namun itu tidak berarti kemudian karya tersebut hanya menjadi semacam “deskripsi situasi” , gugatan selanjutnya adalah : lantas apa bedanya karya (musik) itu dengan news bin berita koran ? Lantas apa yang bisa diambil para apresian/penikmat musik dari lirik-lirik lagu tersebut ? Fenomena garing inilah yang coba diberontaki lewat diskusi sebelum kemudian hasil kupasannya menjadi dasar sketsa lagu SDG.
So, inilah coretan sketsa kegelisahan dibalik lagu SANG DEWA GOOGLE :
Syahdan,
Ketika telepati tak lagi penting, ketika seluruh ilmu gaib berwujud dalam dimensi tehnologi, sadar tidak sadar, manusia telah banyak berharap pada Tuhan baru yang menjadi penolong umat manusia : tanpa perlu doa, apalagi mantera.
Kecamuk tanda tanya tentang “kebenaran obyektif” milik Socrates, sastra “Enuma Ellish” pada kuil-kuil babylonia, ceracau Nitsche dalam “Tuhan-Tuhan telah mati”, hingga tehnik seks kamasutra dan cara beternak lele, terjawab sudah ketika manusia berharap - menghadap: DEWA GOOGLE