Sebagai sebuah Kraton yang dibangun berdasarkan sumbu imajiner nan filosofis, Yogyakarta memilik tiga titik utama yang tak terpisahkan, yakni Gunung Merapi, Kraton dan terakhir Pantai Selatan. Itu artinya, satu tokoh kunci penting lain masih hidup hingga sekarang. Siapakah dia ? Tak lain adalah Juru kunci yang mengemban amanat tradisi kraton dengan area wilayah laut selatan.
Syahdan, jika Gunung Merapi di huni oleh tokoh gaib raja raksasa api bernama Eyang Mrapen a.k.a Mbah Petruk, maka tokoh gaib yang ada di laut selatan sudah tidak asing lagi bagi kita : Kanjeng Ratu Kidul ( meski yang lebih populer sesungguhnya justru wakilnya sendiri (Patih) yang bernama Nyai Roro Kidul )
Dalam kacamata kebatinan Jawa, sesungguhnya almarhum Mbah Maridjan selama ini bukan menyembah gunung seperti yang di plintir oleh kaum radikal anti tradisi, namun melakukan dialog dalam versi kebatinan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang super pasrah, polos dan tulus macam Mbah Maridjan terhadap sesuatu yang tak kasat mata. Menyembah, dalam tradisi jawa artinya memberi hormat. Hal ini jelas tidak ada hubungannya dengan memuliakan. Mungkin kita semua sepakat, bahwa memberi hormat merupakan kebiasaan yang baik untuk dilakukan.
Dalam tradisi Kraton Yogya, setiap abdi dalem yang mengemban tugas sebagai juru kunci biasanya diberi gelar "Surakso" yang berarti : Penjaga. Sebagai contoh, nama aslinya adalah Maridjan, namun setelah diangkat sebagai juru kunci namanya berubah menjadi Raden Penewu Surakso Hargo. "Raden Mas Ngabehi Penewu" merujuk pada nama kebangsawan kraton, "Surakso" merujuk pada fungsi kerja, "Hargo" merujuk pada obyek kerja. Hargo dalam bahasa jawa artinya " Gunung".
" Kenapa harus ada Penjaga Gunung ? " . Bagaimana kalau pertanyaan ini kita persamakan dengan " kenapa harus ada pencinta alam ? ". Dulu sering sekali kaum radikal anti tradisi sering nyinyir mengolok-olok teman-teman pecinta alam dengan kata-kata konyol " alam kok dicintai, cinta tuh pada Allah, jangan cinta sama alam ! " Di tahun 60-an, Soe Hok Gie dan komunitas Mapalanya sangat kenyang dengan olok-olok macam ini. Beruntung kawan-kawan komunitas Pecinta Alam hingga saat ini tidak terlalu menggubris cibiran-cibiran kurang berpendidikan seperti itu sehingga tugas melindungi alam dari kehancuran domestik manusia tetap ada yang menjalankannya.
Tugas mbah maridjan dan juru kunci lain tak beda jauh dengan apa yang dilakukan para pecinta alam sekarang. Mbah Maridjan dalam sebuah tayangan TV mengakui bahwa tugasnya adalah tukang sapu gunung. Membersihkan sekitar gunung Merapi dari sampah-sampah yang dibuat para pengunjung secara tidak bertanggung jawab. Selain tugas fisik, tugas spiritualnya adalah sebagai wakil kraton yogya dalam menjalin komunikasi batin dengan seluruh energi dan unsur tak kasat mata yang melingkupi area gunung merapi. Tentu saja komunikasi batin yang dilakukan menggunakan cara-cara jawa, (bukan cara-cara cina atau cara-cara afrika).
Kini, sepeninggal Mbah Maridjan, juru kunci pantai selatan seakan merasa timpang sebelah. Sumbu imajiner Yogyakarta seakan begitu berat di topang meski sama sekali tak mengurangi militansinya mengemban amanah. Beliau memang tak sepopuler Mbah Maridjan meski gaji bulanan yang diterimanya dari Kraton sama dengan rekan sejawatnya itu yakni :dibawah sepuluh ribu rupiah. RADEN PENEWU SURAKSO TARWONO atau yang biasa dipanggil akrab MBAH NONO agaknya punya watak pengabdian yang tak jauh berbeda dengan Mbah Maridjan. Selama perintah belum dicabut oleh almarhum Sri Sultan HB IX, mbah Nono tak akan pernah berpindah dari pos penjagaannya walau badai dan tsunami besar menghantam dahsyat.