MENYAMBUT KANTATA BAROCK DENGAN MELIRIK ULANG FILM KANTATA TAKWA

Menjelang pagelaran Kantata Barock yang juga merupakan reunian keluarga kreatif Kantata Takwa, tidak salah kiranya jika Pagerzine sedikit mengajak anda sekalian untuk mengingat kembali sebuah film besutan sutradara Eros Djarot dan Gotot Prakosa yang membuat para kreator di Kantata sekaligus menjadi para lelakon di film ini.

Film Kantata Takwa adalah sebuah film dokumenter musikal yang digodok cukup lama, yakni selama 18 tahun karena mengalami banyak hambatan, terutama sekali karena tindak represifitas penguasa Orde Baru dan faktor gonjang ganjing finansial yang mengobrak-abrik Asia dalam kurun waktu yang panjang. Saking panjangnya proses pembuatan film Kantata Takwa, tidak sedikit seniman yang terlibat di dalamnya meninggal dunia sebelum film ini di rilis pada tahun 2008.

Keterlambatan ini tentu saja sangat disayangkan oleh berbagai pihak mengingat waktu rilisannya yang lewat dari 10 tahun reformasi dianggap tidak relevan lagi dengan keadaan yang sedang terjadi. Namun demikian, film Kantata Takwa tetap berhasil mendapatkan sejumlah penghargaan, diantaranya :  Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) - Film Terbaik 2008 - Golden Hanoman Award,  Asia Pacific Screen Awards 2008 - Nominasi untuk Film Dokumenter Terbaik, Nominasi dalam Hawaii International Film Festival 2008 dan Nominasi dalam Osian Cine Fan, New Delhi 2008.

Film yang dibuat mengunakan kamera 35 mm ini, menurut sang sutradara, rollnya pernah terendam banjir. Namun dengan upaya penyelamatan disana sini, akhirnya film yang di produksi Ekapraya Tata Cipta Film dan Sedco Indonesia ini berhasil di rilis dalam format digital berdurasi 72 menit.

Sebagai sebuah film kesaksian, film Kantata Takwa tak lepas menampilkan jamannya yang penuh "tindak pengebirian bersaksi". Menghalalkan segala cara dalam membungkam berbagai pikiran dan pendapat, termasuk dengan cara pembunuhan atas nama stabilitas keamanan.

Film yang di dukung oleh para aktor aktris dari komunitas Bengkel Teater Rendra ini tentu saja tidak tanggung-tanggung dalam eksplorasi daya aktingnya. Maklum, komunitas ini memang telah ditempa untuk menjadikan akting sebagai naluri, bukan sesuatu hal yang dibuat-buat seperti banyak kita saksikan di layar sinetron TV. Pun hal yang menarik, ketika hampir semua tokoh dalam film ini masih terlihat muda dan berstamina, plus ke-khas-an mereka dengan kumis dan rambutnya yang masih gondrong mewakili jiwa para pemberontak yang tak henti meletup.

Paparan adegan pertama kita dibawa ke situasi hidup dan mati saat Sawung jabo dan sejumlah rakyat jelata harus tunggang langgang diburu senjata M16. Ketakutan membayang di wajah mereka. Pembunuhan keji dilakukan oleh pasukan bermasker gas seperti sedang berusaha melakukan pembersihan massal terhadap warga desa. Satu persatu mereka di eksekusi, tak perduli tua muda, laki perempuan. harus mati di ujung peluru secara brutal. Namun beruntung, itu semua cuma mimpi WS Rendra (alm).

Rangkaian-rangkaian adegan kemudian berlompatan ke arah cuplikan konser akbar Kantata Takwa di Stadion Gelora Bung Karno, juga ada asal mula terbentuknya Kantata Takwa, ada adegan teateral di pesisir pantai dan ada pula dialog filosofis antara Iwan Fals dan Sawung Jabo tentang Kehidupan.

Hal yang paling tragis dalam film ini adalah ketika satu persatu tokoh Kantata Takwa terbunuh pasukan bermasker seperti yang ada dalam mimpi rendra. Rupanya, mimpi tersebut seperti firasat yang akan menimpa mereka semua dikemudian hari. Tengok saja, ketika Jockie Surjoprajogo tewas digebuki di rumahnya sendiri, Setiawan Djodi mati dibekap bantal saat sedang tidur pulas, Sawung Jabo terbunuh  di lorong jalan, dan Iwan Fals yang dipegangi rame-rame dan dicabuti seluruh giginya.

Hebatnya, Eros Djarot dan Gotot Prakosa mampu membuat film ini seperti memprediksi apa yang akan terjadi beberapa tahun kemudian di negeri ini lewat adegan hancurnya pasukan bermasker dan berhasil di tangkapnya sang pimpinan oleh rakyat jelata. Lebih unik lagi ketika sang pemimpin ternyata tewas dalam penjara sebelum pengadilan membuat vonis.

"Film ini berangkat dari ide gila Rendra," kata Erros dalam jumpa pers. Karena idenya gila, lanjut Erros, maka ia harus melibatkan orang-orang gila, seperti Setiawan Djody, Iwan Fals, Sawung Jabo, Gatot Prakosa dan produser Abdurrahim.

Kantata Takwa memang sebuah proyek kreatif spektakuler di jamannya. Disaat orang belum bebas mengkritik dalam hal apapun seperti sekarang ini, Kantata Takwa pasang badan terang-terangan menuntut penguasa lewat sebuah pagelaran besar. Akibatnya bisa di duga, sejumlah roadshownya dilarang oleh Panglima Daerah Militer dengan alasan tidak jelas.

Kepada Majalah Pagerzine, Sawung Jabo bercerita " pernah suatu ketika Kantata di perbolehkan tampil dengan syarat tidak membawakan lagu Bento dan Bongkar. Alasannya aneh. Katanya bisa menimbulkan kerusuhan. Kami mengiyakan, tapi saat di panggung kami tetap nekad membawakannya. Bahkan setelah itu kami blak-blakan mengatakan pada para penonton bahwa kedua lagu tersebut tadinya dilarang untuk dinyanyikan karena bla-bla-bla. Spontan penonton bagai koor, memaki, ...guooobloookkk...bodooohhhh...Nah, bukankah kalau tidak kami nyanyikan malah bisa menimbulkan kerusuhan ? Apalagi melihat histeria  massa terhadap permintaan kedua lagu tersebut ? "

Yah, Kantata Takwa, baik musik maupun filmnya memang sebuah kesaksian. Jika Kantata Takwa kini lahir kembali menjadi Kantata Barock, bisa jadi mereka sedang turun gunung untuk kembali bersaksi, bahwa ada yang tidak beres di bumi pertiwi saat ini.







----------------------------------
catatan :
Adalah baik jika anda menyaksikan terlebih dahulu film Kantata Takwa sebelum menonton Konser Sirkus Barock bulan Desember depan di Gelora Bung Karno