
Di tengah kehancuran massal penjualan cakram CD dan pita kaset yang dibarengi bangkrutnya sejumlah mayor, RBT bisa jadi harapan besar pengusaha dan pekerja musik dalam memasarkan produknya. RBT atau Ring Back Tone yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi Nada Sambung Pribadi (NSP) ini menjadi booming di Indonesia sekitar tahun 2007 dalam bentuk musik, pesan pribadi, doa, salam, bayi menangis, suara kuntilanak dan sebagainya. Panjang nada RBT umumnya berkisar 30 s/d 40 detik tergantung dari operator yang menyediakan layanan.
Fenomena unik dari RBT adalah karakternya yang meski pelanggan telpon seluler telah membayar nilai tertentu untuk sebuah tone, pelanggan tidak bisa mendengarkan sendiri suara tersebut dan justru hanya dinikmati oleh orang lain yang sedang menelepon dirinya. Namun demikian, meski cuma sepenggalan lagu, faktanya RBT menjadi ujung tombak pendapatan karya yang menyelamatkan dari pembajakan karena ditempatkan pada mesin operator telepon seluler.
Remy Soetansyah, wartawan budaya senior sekaligus komandan Rumah Musik Indonesia menjelaskan secara lebih jauh dalam blognya sebagai berikut :
.......Ring Back Tone mula-mula diperkenalkan oleh pihak Korea. Tapi di Indonesia mulai dipergunakan sekiat tahun 2005. Ketika itu belum berbau bisnis. Artinya siapa saja yang lagunya mau dimasukin RBT ya boleh-boleh aja. Tidak ada pembayaran antar ke dua belah pihak.
Tahun 2006, media ini baru dipergunakan sebagai media bisnis. Pengguna awalnya adalah apa yang dikenal dengan kelompok 3 ( dalam dunia perlabelan) pada tahun itu, mereka adalah Sony, Musica dan Warner.
Sayangnya kita gak punya catatan, lagu apa, karangan siapa, artisnya siapa yag pertama kali di RBT, baik yang awal (tanpa bayar membayar) dan yang dibisniskan.
Tapi menurut data terdekat, Samson adalah artis Indonesia pertama yang lagunya di download satu juta orang. Dan sampai hari ini (Maret 2009), Hijau Daun adalah artis dengan lagu terbanyak di download orang. 3 juta copy. Artinya: Kalau satu kali download harganya 9 ribu. Maka Rp 9.000 X 3 juta = 27 milyar.
Angka itu nampaknya bakal terus berkembang jauh melesat.......
Cukup fantastis bukan ? Namun catatan " Bang Remy " yang menggiurkan tersebut rupanya coba lebih dibuka faktanya oleh Gideon Momongan, rekan musisi sejawatnya, untuk lebih blak-blakan lagi mengetahui nilai sharing yang di dapat, terutama bagi musisi sebagai pelaku utama "penyangkul sawah".
Dari yang gw ketahui, awalnya juga "peran" label atas incomings dari digital-contents tersebut hanyalah sebatas "potongan seolah management-fee" gitulah, sebesar paling2 antara 20-30% saja.
Sekarang, posisinya sudah terbalik, karena pihak labellah yang "meraup" keuntungan lebih besar. Posisinya menjadi bahkan 70:30 bahkan ada yang 80:20. Prosentase yg terbesar utk label, yang kecil ya untuk sang komposer.
Share lantas juga ada "perkembangan". Jadi dari awalnya, penuh dimiliki si pencipta lagu, kini selain berbagi dengan pihak label. Juga berbagi dengan penyanyi (bila ada penyanyinya), juga dengan aranjernya (bila memang memakai jasa aranjer). Jadi, "potongan kue" pencipta lagu makin mengecil dan terus mengecil. Belum lagi kalau menyangkut band, karena "regulasinya", surat pernyataan sebagai pemilik sah lagu tersebut juga harus ditandatangani oleh seluruh personel grup band. Artinya, mereka semua lantas mendapat "jatah atau hak share" pula atas penerimaan dari penjualan digital-contents tersebut.
Bagaimana dari sisi pendownload ?
Bagi penikmat musik sejati, tentu saja menikmati musik yang cuma sepenggalan sangat tidak memuaskan. Belum lagi nilai yang harus dibayarkan sesungguhnya ibarat sewa tanpa bisa memiliki atau menjadikannya koleksi. Bukan hanya itu, RBT ternyata juga mematikan pendapatan artis-artis pendukung musisi seperti photografer dan desainer grafis yang biasa bekerja di fase cover. Pun celakanya, kini bisa dihitung dengan jari musisi yang merilis karyanya secara album karena pihak label lebih aman dengan rilisan single. Bagaimana dengan pihak sound engginer ? Dalam sejumlah diskusi forum audio, beberapa dari mereka berkomentar ironis sebagai berikut " susah payah mixing dan mastering gak taunya cuma di denger di speaker handphone yang karakternya mono, itu juga cuma sepotong ".
Kasus pencurian pulsa yang mencapai titik klimaks pada bulan Oktober 2011 lalu tenyata membuat RBT mendapatkan dampak yang luar biasa. Kemarahan publik yang meluas memaksa pihak Kementerian Komunikasi dan Informasi dan pihak-pihak yang terkait mengeluarkan kebijakan menon aktifkan RBT pada tanggal 18 Oktober 2011 pukul 12 malam teng. Tentu saja ini balik membuat para pelaku industri musik kontan bereaksi dan membuat pertemuan di Hard Rock Café sehari sebelumnya. Menanggapi hal ini, Menkominfo Tifatul Sembiring memberi penjelasan lima point lewat akun twitternya sbb :
Saya tegaskan TIDAK ADA penghapusan layanan RBT. Tapi semua pelanggan YG MAU RBT harus register ulang. Yang TIDAK MAU, tdk boleh dipaksa.
Jadi sistem POTONG PULSA otomatis ditiadakan. Sebab pengguna hp tidak tahu mengapa pulsanya dipotong. Hrs ditawarkan ulang mrk mau/tidak.
Bagi penyedia jasa RBT yg baik2, tentu dibutuhkan pengguna hp dan mrk akan daftar ulang dg KESADARAN. Jadi hal ini seperti reset ulang sj.
Semua cp harus memudahkan proses UNREG, dan pelanggan hrs mengerti betul semua resikonya jika melakukan REG.
Pemotongan pulsa tanpa seizin/sepengetahuan pemilik hp adalah PENCURIAN, akan sgr diusut pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum
Syahdan,
sudah hampir sebulan ini RBT berusaha digerakkan lagi oleh berbagai pihak untuk
kembali menjadi trend seperti semula. Tapi apa daya, seusai deadline non aktif
itu, RBT seperti terdengar tidak "seksi" lagi untuk menjadi pasar. Yah, RBT sedang menerima takdirnya, naik
cepat, tamat sesaat.
Beberapa
pelaku industri kemudian mencoba melakukan inovasi untuk kembali membangkitkan atmosfer
distribusi. Melly Guslaw misalnya, lewat twitternya, artis dan pencipta lagu
yang karyanya sering nge-hits ini menginformasikan bahwa karya-karya lawasnya
bisa di download secara gratis pada situs tertentu : “ Kalau ada yang gratis
legal, ngapain download yang illegal ?” bunyi tweetnya. Pihak yang tidak
sepakat dengan metode gratis-gratisan seperti ini kemudian mencoba mencari
jalan lain yang dianggap lebih waras. Salah satunya dengan memindahkan “harta
karun”nya ke metode full track download, sebuah system dimana penikmat musik
bisa membeli sebuah file lagu secara utuh secara online download.
Yang
luar biasa, ada pihak lain yang ternyata sama sekali tidak terpengaruh dengan
gonjang ganjing RBT ini. Mereka tetap adem ayem dan distribusi produknya terus
berjalan santai. Mereka siapa lagi kalau bukan pihak label independent yang memang
sejak lama bergerak secara underground. Segmen ini tetap menyetiai metode
distribusi fisik dengan model pemesanan online lewat official situsnya
masing-masing. Selain tetap menganggap system
direct selling di tiap event yang berlangsung menjadi kekuatan utama, mereka
juga tetap medistribusikan produk-produk tersebut via distro-distro jaringan. Label
dan musisi independent yang kebanyakan menggarap produk-produk beraliran cadas
ini terbukti memiliki pondasi dan jaringan yang kokoh bukan hanya di tingkat lokal,
tetapi juga di tingkat mancanegara.
Suatu
kali produser rock kenamaan Log Zhelebour pernah mengeluh dalam status
facebooknya tentang fenomena RBT. Dirinya cukup heran dengan keanehan penikmat
musik Indonesia yang mau membayar
mahal hanya untuk membeli secuil penggalan lagu Isinya kira-kira demikian : “ RBT itu kan harusnya iklan doang.
Tujuannya agar orang mau beli versi utuhnya. Lha ini kok mau-maunya orang bayar
untuk denger iklan ? “.
Cukup
logis apa yang digelisahkan Log tersebut. Usaha beberapa musisi yang di dukung
oleh broadcast nasional untuk mengembalikan lagi kejayaan RBT sepertinya
mencederai perkembangan musik itu sendiri. Harusnya, di periode ini para pelaku Industri
menggunakan momentum “tragedi RBT” sebagai ruang refleksi untuk menempatkan
kembali musik sebagai karya terhormat dengan menampilkannya secara utuh. Salah
satunya dengan mendistribusikannya secara full track download di toko-toko
online seperti I-tunes, Amazon, dsb seperti yang telah dilakukan sebelumnya
oleh kalangan independent. Band seperti Mocca , Every Body Love Irene dan
Serdadu ternyata telah berpikiran maju dengan menggunakan system ini jauh-jauh
hari.
Tak
ketinggalan penjualan fisik juga sebaiknya perlu digalakkan kembali mengingat
pasar ini telah terbukti mampu berbuat banyak bagi perkembangan musik Indonesia , terlebih bagi perekonomian masyarakat
Indonesia
secara luas.