SENSASI MEMBELI ALBUM REKAMAN, MASIHKAH ADA ?

Beberapa hari lalu, diri ini membeli sebuah CD milik band KOIL. Harganya? 30 ribu rupiah. Sebagai seorang pegawai negeri yang tak berpenghasilan berlebih-lebihan, anggaran untuk 'kebutuhan tersier' sebesar (atau sekecil) itu sudah barang tentu tetaplah melalui serangkaian pertimbangan dan berada dalam daftar urut kesekian setelah kebutuhan pokok seperti susu untuk anak dan atau uang belanja harian. Bagi orang yang memasuki paruh kedua usia 30-an, membeli rekaman bukanlah hal yang dilakukan sesering 15 duapuluh tahun silam ketika diri masih remaja yang segala kebutuhannya masih berada dalam tanggungan orang tua. Kala itu, dasawarsa 90-an, atau bahkan akhir 80-an, ketika harga kaset berkisar 5 ribu rupiah (kaset lisensi alias kaset resmi pertama dibandrol Rp.5000,-) anggaran membeli rekaman sebuah band didapat dari uang saku yang bersumber dari orang tua. Pada masa itu, setiap rekaman terbaru terutama dari genre maupun artis yang disuka selalu diusahakan untuk terbeli dan dimiliki. Memiliki sebuah album, sebuah kaset (dan CD seiring makin maraknya CD di era 90-an) adalah suatu kebanggaan, suatu identitas tersendiri. Jika kita memiliki kaset Metallica atau The Rolling Stones misalnya, akan bertambahlah rasa percaya diri kita ketika berinteraksi dengan sesama penikmat musik. Mengapa? tak lain karena data berupa lagu-lagu tersebut dalam formatnya yang apik dan resmi dan kwalitas suara bagus yang ada dalam rekaman berupa kaset maupun CD yang kita miliki itu adalah pengetahuan yang tidak dimiliki oleh mereka yang tak memiliki album rekaman tersebut. Jika kita tidak membeli album milik Saxon, atau Paul McCartney misalnya, maka kita paling jauh hanya mengandalkan kebaikan dan kelengkapan music library dari radio yang biasa kita pantau. Itupun paling jauh hanya lagu yang menjadi hits andalan.

Demikianlah, masa ketika materi lagu seorang artis atau kelompok musik hanya tersimpan dalam format konvensional yang tak mudah digandakan, maka untuk mengetahui, memahami isi sebuah album, memahami sebuah entitas musik entah berupa rekaman seorang artis musik atau group musik hanya bisa dilakukan dengan utuh apabila kita memiliki album artis tersebut. Caranya? sebagian besar tentu dengan membeli, dibelikan, atau apapun caranya sehingga suatu album bisa kita miliki termasuk mengembat dengan segala cara. Jika kita mempunyai sebuah album rekaman, kita akan berada beberapa langkah lebih jauh dari kawan-kawan kita yang tidak memiliki suatu album. Kita menjadi orang yang lebih tahu dan lebih menguasai lagu sebuah artis yang tidak diketahui oleh kawan kita (karena kawan kita itu tak memiliki) dan dari situ timbul rasa bangga karena bisa lebih dari yang lain. Kemampuan finansial dan relasi yang baik sedikit banyak berbicara dalam akses terhadap rekaman di era itu.

Saya mengalami era industri musik bajakan, dimana lagu-lagu dari kelompok musik atau artis luar negeri dengan gampangnya oleh label pembajak di tanah air banyak dirangkum dalam satu kaset dengan judul The Very Best Of. Dengan membeli album semacam ini, orang akan mendapatkan berbagai lagu-lagu 'pilihan' yang enak-enak saja, tentu berdasar selera sang kompilator yang tahu benar selera kuping buyer. Album penuh (full album) juga dijual, walau kadang pertimbangan kebanyakan orang yang membeli dipandang sebagai hal yang kurang ekonomis, karena tidak semua lagu dirasakan 'enak'. Ketika rekaman resmi dengan lisensi mulai diperkenalkan di Indonesia sekira 1988 (yang dipicu oleh kemarahan Bob Geldof karena dibajaknya album charity USA For Africa), kebiasaan membeli album The Very Best buatan pembajak lokal semakin terkikis. Sebagai gantinya, orang mulai terpaksa untuk membeli album penuh, kecuali tentu saja jika ada album yang merupakan album kompilasi resmi. Namun lepas apakah bajakan atau tidak, the very best atau tidak, memiliki rekaman, membeli sebuah karya seni musik dalam suatu media penyimpan data berupa kaset, CD, atau di masa lebih lampau lagi adalah piringan hitam menjadi sebuah nilai plus dalam mengapresiasi seni musik.

Kini zaman telah berubah. Kita telah memasuki era digital dan internet dimana lagu-lagu dalam berbagai format digital bisa didapat di mana saja senyampang kita terhubung dengan internet dan atau gadget yang memungkinkan kita mengcopy berbagai data lagu dalam format digital. Kita memasuki the age of sharing, dimana seorang penikmat musik bisa mengunggah lagu-lagu yang dibutuhkan oleh orang lain di seluruh dunia' untuk bisa diunduh dari mana saja. Di kalangan pedagang, penampilan seorang artis di televisi dengan segera bisa direkam dan digandakan dan diberi judul sekehendak hati selaras dengan intuisi bisnis. Sebuah album musik resmi yang dilempar oleh perusahaan rekaman bisa diramu dalam format apa saja sesuai selera dan naluri pedagang, apakah menjadi MP3, DVD, atau VCD.

Ketika personal computer sudah menjadi bagian dari rumah tangga manusia modern, dimana komputer tidak saja untuk mengolah data namun juga memiliki fungsi hiburan, data digital berupa musik dan bahkan film bisa dinikmati dan bahkan digandakan melalui piranti ini. Internet dan teknologi informasi telah membuat orang dengan mudah mengakses musik yang tersimpan dalam data digital. Kalau dulu remaja merengek minta dibelikan tape deck atau mini compo, atau bahkan merakit tape player, kini jaman sudah berubah. Remaja memiliki laptop dan mendengarkan musik dari laptopnya yang terhubung kepada sound system yang aduhai dengan harga relatif murah. Musik yang diputar? tinggal copy dari sesama teman, menyedot dari internet, maupun membeli keping CD berisi MP3. Maka hanya dengan hanya satu keping cakram padat,, orang bisa memiliki ratusan lagu The Rolling Stones dari puluhan album yang pernah diproduksi band ini. Meninggalkan pemutar kaset dan piringan hitam, orang membeli VCD dan DVD player untuk memutar tak saja film, namun pula musik.

Pada akhirnya, di jaman ini, orang toh tak mementingkan amat apakah sebuah produksi rekaman memiliki keindahan estetika dalam cover misalnya. Yang penting adalah musik bisa dinikmati dan dimiliki dalam kwantitas yang gigantik. Oleh karenanya generasi sekarang bisa jadi menyukai Deep Purple, King Crimson, Koes Plus, maupun YES, tanpa tahu seperti apa rupa covernya. Generasi sekarang nyaris tak perlu menganggarkan duitnya terlalu besar untuk membeli rekaman, melakukan ritual ke toko musik untuk membeli keping CD yang hanya berisi 8,10, dan atau 12 lagu. Walaupun tak secara terang-terangan disambut gembira, pembajakan bukan lagi issue yang meresahkan artis, karena bagi mereka, kini bukan saatnya konser untuk mendongkrak penjualan album, namun sebaliknya: membantgu tersebar luasnya karya mereka sehingga order manggung, iklan, dan pula RBT akan bisa membanjir. Bagi artis, semakin dibajak justeru semakin menguntungkan. Tak heran, berbagai artis dengan sukarela merilis karya mereka dalam berbagai situs yang kemudian bisa diunduh secara tak berbayar.


Maka kini rekaman musik dalam berbagi format materiil seperti kaset dan CD makin terlihat memelas di etalase toko musik yang masih coba bertahan. Mereka tak kunjung diambil, dan beralih tempat ke kediaman pembeli. Semakin banyak terdengar kabar toko musik yang tutup dan bangkrut. Sebuah toko musik besar penyedia piringan hitam, kaset, dan CD sejak era 60-70an bernama Kota Mas di Jalan Malioboro Yogyakarta harus gulung tikar di awal 2000an. Seorang kawan yang membuka toko kaset dan CD di Purwokerto pada akhir 2009 mesti menutup usahanya lewat pertengahan 2010 untuk menghindari kerugian yang terus berjalan akibat uang sewa tak dapat tertutupi dari hasil penjualan. Sebuah toko kaset di ujung Jalan Kertajaya, Surabaya juga telah lama tutup. Kisah yang sama juga terdengar dari toko CD dan kaset Aquarius Jl Dr Soetomo, di Surabaya.Kondisi sama barangkali juga dialami oleh berbagai toko musik di tanah air yang tak mungkin disebut dan didata satu persatu. Demikianlah, semakin lama, rekaman musik dalam format kaset, CD, terlebih piringan hitam ternampak sebagai barang aneh di masa lalu yang dipertanyakan keharusannya untuk dimiliki.

Redaktur Tamu Pagerzine.com
Pemerhati dan Kolektor Musik
Pengurus Milis KPMI (Komunitas Pecinta Musik Indonesia)
Dosen Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto