Punya band, udah. Punya alat, udah. Punya studio sendiri, udah. Biaya operasional punya. Terus apalagi yang belum ?Oke, kalo yang namanya “militansi” udah punya belum ? Semua faktor yang disebutkan sebelumnya mungkin tidak akan jadi apa-apa kalo modal yang terakhir belum dipunya.Militansi, dalam pengertian ngawur kita sebut saja “berani berjuang tanpa ada kata menyerah”.Dalam bahasa “Padepokan Gerilya feat Urbanoir Indonesia”, pengertian ini di tuturkan menggunakan kalimat “Jangan Berhenti Bergerak ! “.
Filosofinya kira-kira : siapapun yang tidak bergerak, sama saja dengan “mayat” bin “jasad” alias ” tamat” sama dengan ” selesai”.Sebuah band yang punya isi ATM puluhan atau bahkan ratusan juta sekalipun kalo dalam pergerakannya stagnan, tentu hasil akhirnya adalah buntung. Sejarah telah mencatat pengalaman-pengalaman yang seperti ini. Berapa band yang eksistensinya ludes bersamaan dengan ludesnya isi ATM mereka ?Tapi mari kita tengok band-band yang menggebuk tanpa henti sampai sekarang. Beberapa dari mereka malah tak punya base camp. Ngejogrok dipinggir jalan atau pos ronda untuk sekedar ngulik lagu secara akustikan, kolek’an sebelum latihan atau menjelang ikut event, bahkan ada yang menggadaikan vespa pribadi demi membeli sebuah gitar electric customan. Apa yang mereka punya untuk eksis ? Tak lain adalah jiwa militansi : anti mengeluh dan berani pasang badan agar terjaga eksistensinya.
Deskripsi militansi bukan sekedar sampai disitu. Kalo menggunakan istilah yang sering dipakai kaum bule, nge-band itu proyek ! Artinya, ngeband gak ada urusannya dengan hobby. Disini proyek jadi jelas erat kaitannya dengan yang namanya “usaha.” Ada investasi walau sesedikit apapun.Gambaran kasarnya kira-kira begini : Seorang gitaris harus punya gitar yang akan dia kenali betul soundnya. Bagaimana mungkin dia mengenal secara khatam sound gitarnya jika gitar yang dia pakai selalu pinjam sana-pinjam sini ? Hem, saya mengenal beberapa kawan gitaris yang punya gitar abal-abal namun selalu pe-de dengan gitarnya. Mereka tahu persis bagaimana cara mengakali “jimat”nya tersebut agar memiliki kualitas tak kalah dengan gitar kelas kakap. Ironisnya, gara-gara sering di oprek, benda tersebut bentuknya makin kelihatan astaga dot com.
Lepas dari itu semua, mereka sadar bahwa mereka harus punya inventasi. Dia punya pekerjaan. Punya usaha. Sama halnya dengan tetangga sang gitaris yang tukang kayu panggilan. Dia punya palu, gergaji dsb untuk bekerja agar layak disebut tukang kayu. Seperti apapun cara mendapatkannya !Bagaimana kalo grup band ? Investasi apa yang harus dipunya untuk menjalankan proyeknya ? Wah, panjang dah !Mereka harus rajin-rajin matahin punggung untuk berlama-lama internetan. Berpromosi di situs-situs. Google-an cari peluang event. Kolek’an lagi untuk bikin demo dan hal-hal setumpuk lain yang membutuhkan dedikasi dan biaya khusus demi menjalankan proyek terkait. Celakanya ribuan band di negeri ini tidak sadar bahwa band adalah sebuah proyek. Yang sudah sadar malah sering tidak cerdik dalam mensiasati investasinya. Terjebak mafia-mafia tanpa reputasi.Lalu bagaimana cara meluncur mulus ? Jawabannya tidak ada. Tidak ada luncuran yang mulus. Tidak ada satupun kitab proyek yang mengajarkan ayat-ayat sukses dengan mudah. Kerikil dan batu besar siap mengganjal langkah proyek kita. Meski demikian, hanya satu yang bisa menjaga proyek band tersebut agar tetap berjalan eksis : Militansi ! Ciptakan kemilitansian dalam diri anda, lantas tambahlah orang-orang militan yang mau mendukung militansi anda !
” Kalo tetap tidak bisa gimana mas ? “
" JANGAN NGE-BAND … ! "