Si pemilik status mengatakan kira-kira isinya : bahwa sebagai seniman kita tidak perlu mencela satu sama lain. Berkarya sajalah. Kemudian status itu di tanggapi oleh beberapa orang. Ada yang mengatakan : itu betul, tapi kalo menyangkut karya-karya tidak bermutu nanti dulu. Ada juga yang secara terang-terangan bilang : Jangan mencela, emangnya udah sehebat apa sih karya loe ! Dengan percaya diri dia juga mengatakan bahwa : jika dia sudah sampaikan pertanyaan itu, maka tidak akan ada yang bisa menjawabnya balik.
Oke kira-kira dari situ artikel pendek ini bermula.
"Mencela" berbeda artinya dengan "mengkritisi atas dasar apresiasi." Kritik adalah cambuk yang bersifat membangun. Sedangkan mencela adalah menghajar. Di lihat dari efek yang diharapkan maka jelas punya maksud yang berbeda. Kedua hal itu erat kaitannya dengan apa yang disebut "mentalitas," sementara mentalitas sendiri erat kaitannya dengan "proses". Semakin lama dia berproses, semakin dia punya mental berkesenian yang oke. Jika kita ingin menjadi seniman yang punya karya-karya besar, maka pupuk terbaik adalah kritik, seberapapun menyakitkannya.
Wajib kita sadari, bahwa diseberang seniman dan karyanya ada sosok lain nan juga berpengaruh, yakni kritikus atau pengamat seni. Mereka memberikan apresiasi dalam bentuk review-review. Sesungguhnya mereka bukanlah musuh tapi justru saudara sekandung yang bertugas sebagai pengawal mutu.
Bagi siapa saja yang ingin "benar-benar" jadi seniman (bukan sekedar jadi selebritis) dia tentu memerlukan "kebutuhan kritik". Untuk membedakan kritik dengan celaan sesungguhnya mudah sekali. Biasanya celaan bersifat menghujat tanpa dasar, sedangkan kritik lebih apresiatif. Sebagai sebuah apresiasi, kritik memiliki kadar intelektual dalam pendapatnya. Jika ada yang sekedar mencela ya diamkan saja, buat apa meladeni hal tak perlu. Jika ada yang mengkritik apalagi memiliki kadar intelektual yang bagus, ajaklah berdiskusi sekalian. Seniman yang baik tidak berhenti dari sekedar membuat karya saja, tapi juga harus memiliki wawasan. Tentu saja agar karya-karya yang dihasilkannya punya bobot, tidak sekedar ikut-ikutan trend dan bisa menjadi pembahasan di sejumlah ruang diskusi karya (dalam sebuah obrolan kamar kost sekalipun).
Lantas siapa yang boleh memberikan kritik ? Ya siapa saja ! Bisa saya, bisa anda, bisa nyokap, bisa bokap, bisa tukang ojek depan rumah, bahkan bisa napi dalam penjara. Bebas. Apalagi kalau karya kita di kritik oleh pengamat yang sudah terkenal, bukannya nyampah, tapi malah bangga ! Salutnya, ada beberapa kawan malah bela-belain suka rela memberikan karya ke sejumlah kritikus terkemuka hanya untuk dibantai (sori, menggunakan bahasa radikal).
Syahdan,
Seandainya saya ditanya : "seberapa hebat sih karya loe ! " maka pasti akan segera saya jawab balik : " Bukan urusan gw, tapi urusan elo ! " Bukankah sesuatu yang lucu jika kita harus menilai karya sendiri ? Error dimananya nih jadinya ? Si penanya-lah yang harusnya melakukan review. Bukankah hal ini justru menimbulkan pertanyaan baru seperti misalkan : " mampu tidak dia sebenarnya memberikan review ?"
Tidak ada satupun yang lebih hebat dari karya-karya yang dibuat oleh Sang Maha Seniman, Tuhan Maha Kuasa. Jadi buat apa hebat-hebatan ? Sebagai seniman yang berbentuk manusia biasa, tentu apa yang kita buat tidak akan pernah ada yang sempurna. Maka sangat sah jika kita saling ber-apresiasi . Demi apa ? Demi kemajuan bersama. Demi mutu karya di Indonesia.